Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2015

Sumpah Pemuda dan Gerakan Menolak Move on

Sumpah pemuda merupakan tonggak besar dalam sejarah gerakan kemerdekaan Indonesia.  Ikrar ini juga dianggap sebagai roh kristalisasi untuk menegaskan cita-cita berdirinya republik ini. Hal tersebut diputuskan melalui konggres pemuda pada 27-28 Oktober 1928, di Batavia, yang kini lebih dikenal dengan Jakarta.  Hasilnya berupa pengakuan pemuda yang berjanji satu negara, satu bangsa, dan satu bahasa.   Peristiwa besar dalam sejarah republik ini tak luput dari campur tangan seorang Mohamad Yamin.  Pria yang kisah asmaranya kurang dikenal masyarakat (sehingga pemuda Jong Soerabaja seperti @kopigenic dan @akarpena tak bisa menjadikannya panutan, serta sebagai contoh, bagaimana semangat nasionalisme perjuangan melawan kenangan) ia juga merupakan perumus sumpah pemuda.   Dalam konggres 1928 itu, ketua konggres, Soegondo Djojopoespito, beserta perwakilan pemuda dari berbagai penjuru nusantara, baik dari organisasi kepemudaan sampai komunitas kaum alay tumplek jadi satu, dengan membawa sem

Menulis Ibu

Menulis itu mencintai Menulis hujan berarti mencintai hujan Menulis awan berarti mencintai awan Menulis senja berarti mencintai senja Menulis ibu Mencintai ibu Gampang-gampang susah Gampang karena banyak yang bisa ditulis Tinggal memutar memori tentangnya Susah karena memori itu membuatku sedih Lebih banyak menangis daripada menulis Air mataku berjatuhan laksana hujan Tapi selalu ada awan yang menghapus air mataku di pipi “Tak usah menangis,”   katanya,   “Kenangan ada bukan untuk membuatmu menangis, tapi semakin mencintai.” Awan benar Mengenang ibu berarti mencintai ibu Dengan menulis aku mengenang ibu Mencintai ibu

Rumah Senja

  Ini adalah cita-citaku di hari tua nanti (semoga umurku cukup untuk mewujudkannya).  Sebuah rumah jompo, tapi aku tidak mau menyebutnya begitu, tapi aku lebih suka menyebutnya Rumah Senja (pemandangan senja selalu indah bagiku).  Sebuah rumah, dimana para manula (aku dan teman-temanku kelak), bisa menghabiskan sisa hidup di rumah itu. Aku membayangkannya, rumahnya terletak di daerah pedesaan, dengan tanah yang luas.  Setiap orang bisa berkebun atau sekedar duduk ngobrol sambil minum teh hangat, paviliun cozy untuk setiap penghuninya.  Ruang bersama yang bisa jadi galeri kecil, ruang pertunjukkan, ya semacam ruang aktivitas bersama. Perpustakaan kecil dengan perapian yang hangat, klinik kesehatan yang memadai, tempat berolah raga, lapangan rumput yang luas, pokoknya rumah senjaku itu, rumah dimana semua penghuninya bisa menemukan bahagia tutup usia. Ide membangun rumah senja ini, tiba-tiba saja tercetus dan membuatku terhenyak sendiri, ‘mmm, mengapa tidak? sebuah rumah jomp

Teruntuk dia; yang dulu lelakiku

    Sudah hidup berapa lama hingga bisa-bisanya bertingkah; seolah paling dicinta nestapa? Padahal ini hanya perihal; kita ingin menjadi berhak pada bahagia yang tidak memihak? Dihujani sendu tiada henti, galau sana sini, lalu meracau hingga berdo’a “Ya Tuhan kapan semua ini berganti?”  Dan menyalahkan diri sendiri, adalah bukan sebaik-baiknya solusi. Aku pernah, begitu bahagia, hingga tau betapa lelahnya tertawa.  Melupakan sejenak luka yang terbuka menganga, oleh apa saja bertemakan penghilang derita.  Terlalu muda untuk kata derita, tapi tidak terlalu tua untuk mencoba mencicipinya.  Berlebihan? Mungkin. Namun ingatlah, setiap insan punya skala rasa sakitnya masing-masing.  Tuhan belum sempat menciptakan standar internasional untuk hal demikian. Meremehkan Tuhan? Tidak.  Sebab benar adanya setiap orang punya sisi kuatnya sendiri-sendiri.  Sosok A, mungkin begitu tegar menghadapi semua getar getir kehidupan tanpa gentar.  Sosok B, mungkin selalu mampu bangkit