Suatu hari, duniamu akan lebih tenang. Jika aku sudah sama sekali tak bersuara. Tenang saja, entah kapan, aku juga ingin benar-benar diam. Tidak ada lagi kepura-puraan tawa, senyum yang diramah-ramahkan, jawaban-jawabanku atas sapaanmu, atau suara yang terdengar manja ketika menjawab panggilanmu.
Kau tahu, aku adalah pemain teater yang piawai sejak remaja. Sutradara asik yang memang seringkali berisik. Meski aku benci cerita yang kuperankan, kau tak akan percaya bahwa para penonton mengagumiku. Kau sendiri tak pernah tahu kan, aktor dibalik keramahanku adalah kesedihan dan kegetiran yang bisu?
Tenang saja, suatu hari aku akan benar-benar pergi. Bukankah selama ini pun aku sudah berjalan lalu berlari? Kau sendiri yang memanggilku lagi, hanya untuk menyapa, lalu kembali melukai. Kau sendiri yang mengikatku disini, dengan ribuan dalih pembenaran, bersenjatakan kata ‘cinta’.
Kau tidak lelah? Aku sudah. Rasanya seperti kehabisan darah.
Atau, sebenarnya kau tidak berbuat apa-apa. Hanya aku saja yang terlalu membawa rasa. Hanya aku saja yang masih memuja luka. Hanya aku saja yang memandangmu masih menyimpan segala. Padahal, mungkin sesungguhnya padaku kau biasa saja.
Jika kau takut padaku, jika kau mempersangkaiku, silahkan lanjutkan. Cari saja seribu pembenaran untuk menjadikanku tawanan.
Aku sudah minta ampun. Aku sudah mohon maaf. Aku sudah puluhan kali menyampaikan kata sesal. Aku sudah berhenti melakukan hal-hal yang membikin kau menaruh dendam.
Lalu aku sudah berlalu, sesekali bersembunyi di gua agar kau tak melihatku. Aku mencari dunia baru.
Lalu kau masih saja menarikku keluar dari lubang persembunyian. Dan cinta membuatku menyerah begitu mudah. Lalu kau mengeluh bahwa aku berisik.
Jika kehadiranku begitu memancing kemarahanmu, lalu untuk apa kau tak berhenti menyapaku? Jika kata-kataku melukaimu, lalu untuk apa kau masih mencari suaraku?
Jangan hanya berdalih kau masih cinta lalu dengan bebas menarik ulur, cinta tak sebercanda itu, Tuan.
Komentar
Posting Komentar