Di pagi yang begitu sepi tanpa banyak suara dari lantai bawah, tiba-tiba aku dikagetkan oleh teriakanku sendiri. Kepalaku pening, tertunduk ke bawah seperti ada bayang-bayang pekat meraksasa di kepala.
Aku bermimpi kembali menjadi anak berumur 7 tahun, saat Ibu masih hadir dalam setiap langkah hidupku. Saat setiap pagi tidak sesepi ini. Saat wangi masakan menyengat membuatku ingin sekali cepat-cepat melepaskan diri dari cengkraman selimut yang begitu hangat.
Ibu mulai menghembuskan napas terakhirnya pada saat aku berumur 19 tahun. Sebagai seorang perempuan yang di didik untuk selalu kuat, aku tak ingin menangis karena keadaan ini. Mengertilah aku perempuan yang paling benci menangis. Hingga sudah berbulan-bulan rinduku kepada Ibu tak pernah aku luapkan. Aku biarkan ia bungkam di dalam dada. Terkubur dalam kegelapan, seperti halnya Ibu.
Dalam mimpiku tadi, aku sedang berjalan dengan Ibuku di kala senja lahir di antara saup-saup obrolan para penghuni komplek. Aku kembali ingat, dulu beberapa hari sekali kami selalu bergandengan tangan berjalan menuju toko jajan. Toko itu selalu penuh dengan jajanan yang aku suka, sehingga aku sangat senang saat ibu mengajakku menuju tempat itu karena aku boleh jajan sepuasnya.
Aku yang saat itu sedang bermain di depan toko tiba-tiba mencium aroma jagung bakar dari salah satu pedagang di sekitar komplek. Sontak saja aku langsung meminta ibu untuk membelikannya.
Dengan tersenyum, Ibu pergi membelikanku jagung bakar. Kita duduk di sebuah kursi depan rumah untuk menikmati sebuah jagung bakar.
Saat itu aku hanyalah seorang anak kecil, yang sedang dengan semangat memakan jagung bakar sehingga kini bentuknya menjadi acak-acakan. Saat aku melihat jagung kepunyaan ibu, aku merasa tertarik, karena ibu memakan rapih setiap biji jagungnya.
“Ibu, tukeran dong, aku mau jagung yang rapih.“ kataku egois.
Namun Beliau sambil tersenyum menukarkan jagungnya dengan jagungku.
Mimpi pagi ini membuatku benar-benar merindukan sosok Ibu yang telah lama pergi. Rumah besar ini menjadi tak terawat tanpa kehadiran ibu. Aku terduduk di atas kasurku, aku tersenyum sendiri saat mengingat mimpi tadi, dan bahkan aku tak kuasa meneteskan air mata. Ah sial! Aku menangis!
“Ibu, aku rindu.” Kataku sembari mencoba menarik napas panjang dan menyeka air mata yang tak sengaja menetes ini.
Entah kenapa rasa rindu akan kehadiran Ibu begitu besar sekali hari ini, dan entah kenapa aku bisa mengingat segala kenangan yang sejatinya tak pernah aku mau ingat sebelumnya.
Tempatku terbangun sekarang ini adalah kamar Ibuku. Dulu setiap malam Ibu selalu hadir di sini, Ia rela terjaga berjam-jam hanya untuk melindungiku dari gigitan nyamuk. Tanganku mengusap pelan kasur yang di mana di situ pernah ada sosok seorang Ibu yang tertidur.
Aku menarik napas panjang sekali lagi, terduduk sebentar di pinggir kasur lalu berjalan ke luar. Saat berjalan keluar menuju ruang televisi, satu kenangan kembali tersirat dalam kepala.
Di atas kursi yang kusam itu, pernah duduk sesosok Ibu yang senantiasa membuka pelukannya saat aku baru bangun dari tidurku. Tapi tidak hari ini, sosok bayangan itu kian menghilang dari benakku. Bahkan saat aku bangun dari tidur tak ada lagi yang rela membuka pelukannya untuk memelukku.
Beberapa langkah kemudian, aku menghampiri kulkas kusam dua pintu berwarna abu abu. Kubuka perlahan kulkas itu dan tampak kosong di dalamnya, hanya ada botol air putih tersimpan di sisi lemari es. Keadaan ini sangat berbeda saat ibu dulu masih hadir di rumah ini. Potongan buah favoritku, semangka, selalu ada di dalam kulkas, dan berbagai macam permen selalu menghiasi setiap sisinya.
Tapi kini, bahkan aku tak melihat ada apa-apa di dalam sana.
Aku berjalan kembali, menuju sebuah dapur kusam untuk mencari sisa makanan bekas tadi malam. Dari seluruh tempat di rumah ini, dapur adalah tempat yang paling aku benci, aku paling benci jika mengingat sudah begitu usangnya dapur ini karena tidak lagi dipakai, tak ada yang memasak seperti dulu lagi. karena aku sangat benci untuk memasak sendirian.
Dulu setiap hari aku selalu mendengar seseorang sedang memasak. Namun tidak lagi. Aku rindu nasi goreng yang wanginya selalu menganggu tidur pagiku. Walaupun rasanya hambar, namun aku belum pernah menjumpai ada masakan seenak masakan Ibu.
Aku kini berjalan gontai, pikiranku sudah kembali normal lagi. Aku sudah menyadari bahwa kini Ibu bukan ada di dunia ini lagi, melainkan di surga. aku terduduk diteras, Aku terdiam menahan tangis, mirip seperti seorang anak kecil yang kehilangan Ibunya.
Saat sedang duduk termenung, tiba-tiba tercium aroma yang enak sekali, aroma itu sudah tampak tidak asing lagi bagiku. Ah, aku ingat, ini aroma jagung bakar. Ternyata aromanya masih sama seperti dulu.
Dengan cepat aku merogoh dompetku dan mendatangi pedagang jagung bakar tersebut
“Pak, beli 2 ya.” Kataku.
Warna jagung itu masih sama seperti dulu. Aku bawa jagung itu dan kembali duduk di tempat yang sama. Ku genggam satu jagung di tangan kiriku dan aku taruh satu jagung di sebelahku.
“Makanlah, Bu. Hari ini aku yang traktir. Ibu ke sini dong, temani aku di sini seperti dulu lagi. Pokoknya aku tidak akan mulai makan sampai Ibu datang.” Ucapku
Tetapi selang satu jam berlalu aku menunggu, Ibu tak kunjung datang.
“Ibu, kenapa ibu tidak datang? Aku tidak akan menukarkan jagung aku dengan jagung ibu lagi kok, bahkan aku bisa membeli seluruh jagung itu hanya untuk Ibu. Ibu tolong, kembalilah.” Air mataku menetes deras membasahi jagung yang tengah aku genggam.
Dan tetap tak ada siapa-siapa yang datang. Bahkan ketika anak kesayangan kecilnya ini menangis, ibu tetap tidak datang. Kenapa Tuhan begitu tega? Tak bisakah Tuhan mengizinkan Ibu turun sebentar dari surga dan duduk di sini memeluk aku?
“Ibu, aku ingin manja seperti dulu lagi. Aku tetap tidak akan makan sampai ibu disini."
Dan akhirnya aku simpan jagung yang tengah aku genggam bersebelahan dengan jagung yang satu lagi.
Aku menangis, kini aku benar benar menangis, berharap Ibu akan datang lalu merangkul dan mengusap air mataku.
Perlahan lahan, jagung yang menjadi saksi bisu itu kian mendingin, Tertiup hembusan angin teras layaknya sebuah kenangan yang tertiup jauh dan tak dapat kembali lagi..
Aku menarik napas panjang sekali lagi, terduduk sebentar di pinggir kasur lalu berjalan ke luar. Saat berjalan keluar menuju ruang televisi, satu kenangan kembali tersirat dalam kepala.
Di atas kursi yang kusam itu, pernah duduk sesosok Ibu yang senantiasa membuka pelukannya saat aku baru bangun dari tidurku. Tapi tidak hari ini, sosok bayangan itu kian menghilang dari benakku. Bahkan saat aku bangun dari tidur tak ada lagi yang rela membuka pelukannya untuk memelukku.
Beberapa langkah kemudian, aku menghampiri kulkas kusam dua pintu berwarna abu abu. Kubuka perlahan kulkas itu dan tampak kosong di dalamnya, hanya ada botol air putih tersimpan di sisi lemari es. Keadaan ini sangat berbeda saat ibu dulu masih hadir di rumah ini. Potongan buah favoritku, semangka, selalu ada di dalam kulkas, dan berbagai macam permen selalu menghiasi setiap sisinya.
Tapi kini, bahkan aku tak melihat ada apa-apa di dalam sana.
Aku berjalan kembali, menuju sebuah dapur kusam untuk mencari sisa makanan bekas tadi malam. Dari seluruh tempat di rumah ini, dapur adalah tempat yang paling aku benci, aku paling benci jika mengingat sudah begitu usangnya dapur ini karena tidak lagi dipakai, tak ada yang memasak seperti dulu lagi. karena aku sangat benci untuk memasak sendirian.
Dulu setiap hari aku selalu mendengar seseorang sedang memasak. Namun tidak lagi. Aku rindu nasi goreng yang wanginya selalu menganggu tidur pagiku. Walaupun rasanya hambar, namun aku belum pernah menjumpai ada masakan seenak masakan Ibu.
Aku kini berjalan gontai, pikiranku sudah kembali normal lagi. Aku sudah menyadari bahwa kini Ibu bukan ada di dunia ini lagi, melainkan di surga. aku terduduk diteras, Aku terdiam menahan tangis, mirip seperti seorang anak kecil yang kehilangan Ibunya.
Saat sedang duduk termenung, tiba-tiba tercium aroma yang enak sekali, aroma itu sudah tampak tidak asing lagi bagiku. Ah, aku ingat, ini aroma jagung bakar. Ternyata aromanya masih sama seperti dulu.
Dengan cepat aku merogoh dompetku dan mendatangi pedagang jagung bakar tersebut
“Pak, beli 2 ya.” Kataku.
Warna jagung itu masih sama seperti dulu. Aku bawa jagung itu dan kembali duduk di tempat yang sama. Ku genggam satu jagung di tangan kiriku dan aku taruh satu jagung di sebelahku.
“Makanlah, Bu. Hari ini aku yang traktir. Ibu ke sini dong, temani aku di sini seperti dulu lagi. Pokoknya aku tidak akan mulai makan sampai Ibu datang.” Ucapku
Tetapi selang satu jam berlalu aku menunggu, Ibu tak kunjung datang.
“Ibu, kenapa ibu tidak datang? Aku tidak akan menukarkan jagung aku dengan jagung ibu lagi kok, bahkan aku bisa membeli seluruh jagung itu hanya untuk Ibu. Ibu tolong, kembalilah.” Air mataku menetes deras membasahi jagung yang tengah aku genggam.
Dan tetap tak ada siapa-siapa yang datang. Bahkan ketika anak kesayangan kecilnya ini menangis, ibu tetap tidak datang. Kenapa Tuhan begitu tega? Tak bisakah Tuhan mengizinkan Ibu turun sebentar dari surga dan duduk di sini memeluk aku?
“Ibu, aku ingin manja seperti dulu lagi. Aku tetap tidak akan makan sampai ibu disini."
Dan akhirnya aku simpan jagung yang tengah aku genggam bersebelahan dengan jagung yang satu lagi.
Aku menangis, kini aku benar benar menangis, berharap Ibu akan datang lalu merangkul dan mengusap air mataku.
Perlahan lahan, jagung yang menjadi saksi bisu itu kian mendingin, Tertiup hembusan angin teras layaknya sebuah kenangan yang tertiup jauh dan tak dapat kembali lagi..
Komentar
Posting Komentar