Pada suatu masa, kurasa aku mati rasa. Hilang peka, serta segala hal bertemakan suka, cinta, dan apa apa yang kerap melengkapinya. Memilih untuk sendiri, -sebab bersama dengan seseorang dianggap terlalu riskan untuk kelak terluka lagi.
Pada suatu masa, ku dapati aku mencumbui sepi hampir setiap hari. Kesepian menjadi teman. Hangatnya kebersamaan menjelma hanya sebatas impian. Imaji dan ilusi berlafadzkan kesendirian menyeruak tak dapat dikendalikan.
Lalu aku menemukan kamu. Yang paras, rupa, tingkah laku, aroma, dan segala tentangmu hanya dapat membuatku terpaku. Lupa pernah terluka. Bergegas menjemput bahagia, berkemas dengan segera
“Mau kemana?” - hampir seluruh panca indra dan logika bertanya. Mantap aku menjawab. “Pindah, kini aku sudah menemukan rumah”
“Hendak berapa lama disana?” - giliran ragu dan ketakutan menguji segenap rasaku. Tak gentar aku menanggapi lagi “Tidak sebentar, bukan hanya singgah. Mungkin sementara, tapi semoga selamanya”
Kepada kamu,
Aku menyukai semua segalamu. Mencintai setiap ganjil kurangmu yang melengkapi segenap aku. Berpisah mungkin kita akan, tapi rasanya tiada salah jika kita memanfaatkan setiap kebersamaan.
Kepada kamu,
Aku menjatuhkan semua harapku. Rasaku. Peduliku. Semua yang tidak aku lakukan pada orang orang sebelummu. Semua yang aku tutup rapat pada lubang silam paling kelam. Semua yang mulanya tiada niatan untuk kembali aku buka. Padamu, kuciptakan semesta bahagia yang baru.
Kepada kamu,
Aku melantunkan sembah serapah agar saling melepaskan, -kita jangan. Kehilangan menjadi ketakutan yang mengganggu penglihatan. Berburuk sangka menjadi jalan, atas nama kesetiaan yang mungkin tercoreng ikrar hitam pekat penghianatan. O, sayang tak bisa kah kamu bersamaku saja hingga berkali-kali masa yang akan datang?
Kepada kamu,
Aku tanamkan kunci segala hubungan berupa kepercayaan. Mari berjalan beriringan. Mencipta tawa, meniadakan nestapa. Selaksa bahagia akan ada bila kita bersama
Komentar
Posting Komentar