Dalam salah satu episodenya, Patrick pernah ga sengaja ngebangunin monster raksasa bikinni bottom yang udah lama tertidur. Monsternya ini gede banget, sepuluh kali lipatnya Patrick. Penampakannya serem, suaranya graaaw. Tiap monster ini jalan, lautan berguncang.
Pas si monster ada di belakangnya, Patrick lagi asik main snowglobe. Lalu tetiba lautan berguncang, Patrick balik badan, ada monster. Monsternya ngambil snowglobe Patrick sambil teriak, maksudnya mau mengancam. Tapi Patrick bergeming.
Patrick justru ngajarin si monster main snowglobe yang bener. Boroboro takut, Patrick malah selow aja ngobrol sama si monster. Ujungujungnya si monster seneng main snowglobe. Merekapun temenan.
Dan ketika dibawa ke rumah Spongebob, Spongebob udah panik ketakutan heboh liat si monster. Spongebob yakin monster itu jahat dan mau makan Patrick. Tapi Patrick tetep selow. Patrick ga bilang apaapa kecuali; “kenalkan, ini temanku”
—
Well, monster ini tampilannya gede, serem, jelek, gapunya mata, mulutnya superlebar, giginya tajem2. A beast, indeed. Tapi pas Patrick ketemu dia, Patrick kalem aja. Ga komentar, ga musingin tampilan si monster. Patrick melihat si monster sebagai sesama penyuka mainan snowglobe.
Dan ketika kenalin ke Spongebob pun, Patrick tetep kalem. Buat dia, monster asik2 aja diajak main. Monster ga jahatin dia, dan dia mau Spongebob juga berpikir demikian.
We judge a cover like everyday, right?
Kita ketemu monster berbagai tampilan setiap harinya.
Yang pake tattoo sebadanbadan, yang pake jilbab sampe mata kaki, yang cungkring item bau ketek, yang rambut cepak rapih kemanamana pake belt dan sepatu phd, yang celananya digulung semata kaki, yang celananya cuma panjang dikit dari sempak, yang pake peci dan sorban di kepala, yang pake kalung salib kemanamana, yang ngobrol sama lawan jenis dengan nundukin kepala, yang foto instagramnya pelukan atau senderan sama bahu bukan muhrim, yang make up tebel alis paripurna, yang muka jerawatan batu, yang muka kinclong penuh upaya perawatan, yang bajunya zara tasnya bottega, yang bajunya kaos monas tasnya kulit kw beli 100rb dapet 3.
…dan sebagainya.
Yang pake tattoo, yang rambutnya di cat pelangi? Anak nakal?
Yang pake jilbab sekaki, kalung salib segede kaleng khong ghuan? Alim ulama?
Yang cungkring item pake celana ada rantenya, badan kekar muka jelek rambut gondrong? Copet atau pecandu narkoba?
Yang pake kemeja rapih beserta belt, sepatu phd dan kacamata? Terpelajar?
Yang celana pendek, kontak fisik sesukasuka sama lawan jenis belum muhrim? Pendosa?
Yang dikitdikit ngepost jalan2 dan barang2 mewah? Tukang pamer?
Yang rambut dikuncir rapih, pake baju panjang, rok di bawah lutut? Anak baik2?
Then we spread it around, tell people how do they like in our eyes. Like we had known them well. Like we were an expert of interpretating a cover. Like we were much even better.
Tampilan emang mau gamau jadi lini pertama penilaian orang ke kita.
Inner beauty and pret itu emang ga keliatan, ga kasat mata. Perlu waktu, kesempatan, dan sudut pandang yang luas untuk mengenal itu. Ga praktis. Lebih gampang sekedar liat penampakan, lalu menarik kesimpulan.
Lalu bilang ke orang lain, sehingga tanpa sadar memprovokasi penilaian orang untuk sama dengan kita.
Padahal kita bukan Tuhan.
Seluas apapun ilmu ketuhanan yang kita pelajari, seluas apapun pengetahuan tentang hukumhukum Tuhan yang kita yakini, yang menentukan salah atau benar paling berhak tetap Tuhan itu sendiri.
Selama lo masih menganggap anak ips ga sepinter anak ipa, atau profesi DJ itu dekat dengan alkohol seks bebas, dan penilaian cover yang shallow lainnya, lo masih terbelenggu dengan kebutuhan untuk judging orang lain. Dan itu bikin capek sih lamalama, fyi aja.
Fine, judging the cover is okay. Realistisnya kan gitu emang. Yang keliatan kan emang penampakan fisik.
But then keep your mouth shut, please.
Biarkan penilaian dan penghakiman itu ada di kepala lo aja, gausah dibagi ke orang lain. Biarkan mereka membuat penilaiannya sendiri juga.
Kayak Patrick. Terserah mau itu monster wujudnya gimana, itu toh bukan urusan Patrick. Yang dia tau, monster bisa diajak main snowglobe dan main sama spongebob. Patrick selow aja liat penampakan seserem si monster, dan selow aja ngenalinnya ke Spongebob sebagai temen.
Patrick tau dia bukan Tuhan.
Patrick aja tau.
Orangorang toh punya battle hidupnya sendirisendiri. Punya fase sampah dan fase kejayaannya masingmasing. Hidup kita sama hidup orang beda chapter, beda judul. Gimana mereka mau mengekspresikan diri mereka lewat penampilan mereka, itu berasal dari keputusan mereka sendiri, alasan yang mereka pegang sendiri, keyakinan yang mereka pilih sendiri.
Monster itu samasama suka main snowglobe kayak patrick, dan itu cukup jadi fokus instead of musingin wujud. Patrick memperlakukan dia sebagai sesama penyuka snowglobe, mau sejelek dan seserem apapun wujud si monster.
Kita semua juga samasama ciptaan Tuhan. Harusnya itu cukup untuk kalem menghadapi perbedaan apapun.
Gitu.
Pas si monster ada di belakangnya, Patrick lagi asik main snowglobe. Lalu tetiba lautan berguncang, Patrick balik badan, ada monster. Monsternya ngambil snowglobe Patrick sambil teriak, maksudnya mau mengancam. Tapi Patrick bergeming.
Patrick justru ngajarin si monster main snowglobe yang bener. Boroboro takut, Patrick malah selow aja ngobrol sama si monster. Ujungujungnya si monster seneng main snowglobe. Merekapun temenan.
Dan ketika dibawa ke rumah Spongebob, Spongebob udah panik ketakutan heboh liat si monster. Spongebob yakin monster itu jahat dan mau makan Patrick. Tapi Patrick tetep selow. Patrick ga bilang apaapa kecuali; “kenalkan, ini temanku”
—
Well, monster ini tampilannya gede, serem, jelek, gapunya mata, mulutnya superlebar, giginya tajem2. A beast, indeed. Tapi pas Patrick ketemu dia, Patrick kalem aja. Ga komentar, ga musingin tampilan si monster. Patrick melihat si monster sebagai sesama penyuka mainan snowglobe.
Dan ketika kenalin ke Spongebob pun, Patrick tetep kalem. Buat dia, monster asik2 aja diajak main. Monster ga jahatin dia, dan dia mau Spongebob juga berpikir demikian.
We judge a cover like everyday, right?
Kita ketemu monster berbagai tampilan setiap harinya.
Yang pake tattoo sebadanbadan, yang pake jilbab sampe mata kaki, yang cungkring item bau ketek, yang rambut cepak rapih kemanamana pake belt dan sepatu phd, yang celananya digulung semata kaki, yang celananya cuma panjang dikit dari sempak, yang pake peci dan sorban di kepala, yang pake kalung salib kemanamana, yang ngobrol sama lawan jenis dengan nundukin kepala, yang foto instagramnya pelukan atau senderan sama bahu bukan muhrim, yang make up tebel alis paripurna, yang muka jerawatan batu, yang muka kinclong penuh upaya perawatan, yang bajunya zara tasnya bottega, yang bajunya kaos monas tasnya kulit kw beli 100rb dapet 3.
…dan sebagainya.
Yang pake tattoo, yang rambutnya di cat pelangi? Anak nakal?
Yang pake jilbab sekaki, kalung salib segede kaleng khong ghuan? Alim ulama?
Yang cungkring item pake celana ada rantenya, badan kekar muka jelek rambut gondrong? Copet atau pecandu narkoba?
Yang pake kemeja rapih beserta belt, sepatu phd dan kacamata? Terpelajar?
Yang celana pendek, kontak fisik sesukasuka sama lawan jenis belum muhrim? Pendosa?
Yang dikitdikit ngepost jalan2 dan barang2 mewah? Tukang pamer?
Yang rambut dikuncir rapih, pake baju panjang, rok di bawah lutut? Anak baik2?
Then we spread it around, tell people how do they like in our eyes. Like we had known them well. Like we were an expert of interpretating a cover. Like we were much even better.
Tampilan emang mau gamau jadi lini pertama penilaian orang ke kita.
Inner beauty and pret itu emang ga keliatan, ga kasat mata. Perlu waktu, kesempatan, dan sudut pandang yang luas untuk mengenal itu. Ga praktis. Lebih gampang sekedar liat penampakan, lalu menarik kesimpulan.
Lalu bilang ke orang lain, sehingga tanpa sadar memprovokasi penilaian orang untuk sama dengan kita.
Padahal kita bukan Tuhan.
Seluas apapun ilmu ketuhanan yang kita pelajari, seluas apapun pengetahuan tentang hukumhukum Tuhan yang kita yakini, yang menentukan salah atau benar paling berhak tetap Tuhan itu sendiri.
Selama lo masih menganggap anak ips ga sepinter anak ipa, atau profesi DJ itu dekat dengan alkohol seks bebas, dan penilaian cover yang shallow lainnya, lo masih terbelenggu dengan kebutuhan untuk judging orang lain. Dan itu bikin capek sih lamalama, fyi aja.
Fine, judging the cover is okay. Realistisnya kan gitu emang. Yang keliatan kan emang penampakan fisik.
But then keep your mouth shut, please.
Biarkan penilaian dan penghakiman itu ada di kepala lo aja, gausah dibagi ke orang lain. Biarkan mereka membuat penilaiannya sendiri juga.
Kayak Patrick. Terserah mau itu monster wujudnya gimana, itu toh bukan urusan Patrick. Yang dia tau, monster bisa diajak main snowglobe dan main sama spongebob. Patrick selow aja liat penampakan seserem si monster, dan selow aja ngenalinnya ke Spongebob sebagai temen.
Patrick tau dia bukan Tuhan.
Patrick aja tau.
Orangorang toh punya battle hidupnya sendirisendiri. Punya fase sampah dan fase kejayaannya masingmasing. Hidup kita sama hidup orang beda chapter, beda judul. Gimana mereka mau mengekspresikan diri mereka lewat penampilan mereka, itu berasal dari keputusan mereka sendiri, alasan yang mereka pegang sendiri, keyakinan yang mereka pilih sendiri.
Monster itu samasama suka main snowglobe kayak patrick, dan itu cukup jadi fokus instead of musingin wujud. Patrick memperlakukan dia sebagai sesama penyuka snowglobe, mau sejelek dan seserem apapun wujud si monster.
Kita semua juga samasama ciptaan Tuhan. Harusnya itu cukup untuk kalem menghadapi perbedaan apapun.
Gitu.
Komentar
Posting Komentar