Tidak perlu menjadi yang paling pintar untuk mengetahui bahwa kenyataan seringkali tak sebanding dengan harapan. Aku salah satunya. Aku bukan seorang yang jenius, bukan seorang yang pintar menerawang, tapi kenyataannya, saat ini aku tau bagaimana saat harapan yang sudah lama dibangun harus hancur dengan kenyataan yang bertolak belakang.
Dulu, kamulah yang selalu berputar-putar di otakku. Sampai saat ini pun masih. Entah kenapa kinerja pikiranku seolah tak membiarkan sedikitpun tentang kamu berlalu, walaupun pada kenyataan yang sebenarnya kamu memang telah pergi.
Enam puluh hari sudah aku lewati. Tanpamu. Aku masih belum beranjak dari tempatkut—tempat terakhir kamu berpijak pada saat itu. Aku tau, aku cukup pintar untuk menunggu, namun kusadari pula bahwa apa yang kutunggu saat ini pun sudah berlalu. Benar bukan? Namun aku rasa, ini lebih dari itu. Entah mengapa, meskipun ku tahu kamu telah memilih bahagia bersama yang lain, seolah hati dan otak ini bersinkronisasi. Membiarkan kamu yang menjadi akhir dari segala ingatan, walaupun sekeras apapun aku mencoba melupakan.
Dari hatiku yang paling dalam, tolong maafkan aku. Maafkan aku yang terlanjur menyayangi kamu terlalu dalam. Maafkan aku yang merasa memlikimu, bahkan sampai saat ini pun masih. Tentu juga masih saja menganggapmu satu-satunya. Maaf aku tak seperti kamu, aku gagal menerima keadaan bahwa kini kita sudah tak sejalan.
Aku tidak tau, siapa yang patut disalahkan. Keinginan dan harapanku yang ketinggian, ataukah semesta yang terlambat menyadarkan? Apakah mungkin memang kamu yang sulit untuk peduli, ataukah aku yang telalu mudah memeberi hati? Aku butuh lebih dari sekedar waktu untuk memahami apa yang terjadi, untuk menerima kenyataan bahwa kita sudah tak seakrab dulu lagi. Bahwa memang ternyata aku tak pernah berarti di matamu. Mimpi masih menerbangkanku dalam khayalan, dan berharap kamulah yang menangkapku saat aku terjatuh.
Sebenarnya, Ada satu hal yang selalu terpikir di benakku. Mengapa kamu begitu cepat melupakan apa yang telah terjadi? Apa karena aku seorang wanita dan kamu laki-laki? Apa karena kamu yang terlalu berpikir dengan logika dan aku yang selalu bertindak dengan hati? Sungguh, aku sangat bahagia jika kamu baik-baik saja, namun apa kamu menyadari bahwa sosok “pengganti” adalah sebuah tamparan keras bagi hati yang terlampau dalam mencintai?
Aku juga tidak mengerti, kenapa hati ini masih belum bisa menerima bahwa (mungkin) ada yang lebih bisa. Lebih bisa mengertimu, lebih bisa menemanimu, lebih bisa bersamamu, ketimbang aku yang hanya bisa memelukmu dari kejauhan dan menyimpan namamu dalam diam.
Kenapa ini begitu sulit? Apakah mungkin karena aku yang belum pernah menyayangi seseorang sekeras ini? Percuma jika aku dekat dengan yang lainnya, jika hatiku hanya kamu yang punya. Percuma jika aku pun bersama yang lain, namun tak kutemukan sosokmu disana. Aku tahu, mungkin ini harapan gila bahwa aku ingin kamu ada dua. Satu untuk aku, dan satu seorang penggantiku (mungkin). Tapi jika itu tak mungkin, dan Tuhan memang menghadirkanmu hanya satu, aku mau satu-satunya kamu yang ada di dunia ini memang diciptakan untuk kumiliki. Apakah itu harapan yang muluk-muluk?
Perubahan ini terjadi tanpa persiapan, kesadaran dan kenyataan ini datang tanpa hadirnya kamu. Sekai lagi, maaf bila saat ini yang masih kubutuhkan hanyalah kamu. Kamu yang seperti ada hanya untuk kucintai bukan untuk kumiliki, seperti dekat tak terjangkau, terasa tapi tak tergenggam, ada yang seperti tiada.
Komentar
Posting Komentar