Sejenak saja rasanya aku ingin keluar dari rasa yang terus saja mencoba menjejali hari. Aku bosan terus-terusan terjerumus dalam rasa kehilangan. Apalagi jika itu kamu yang menjadi alasan dari setiap ingatan. Aku juga bosan untuk terus menerus menghadapi rasa rindu bercampur muak dengan segala anganmu yang seolah tak pernah berhenti untuk menghantui.
Entahlah, aku sama sekali tak tau apa yang kini kurasa. Jika boleh diibaratkan, aku seperti seorang anak kecil yang kehilangan arah. Bingung, linglung. Meski aku terlihat menerima, tapi ingatlah, aku belum bisa mengerti tentang semua hal yang terjadi. Walaupun aku terlihat baik-baik saja, namun sebenarnya luka ini masih ada. Masih terbuka begitu lebar dan tak tahu sampai kapan Tuhan akan menyembuhkannya. Jika aku ditanya, apakah aku masih berdarah-darah menangisimu? Jawabannya TIDAK. Namun, jika aku kembali ditanya apakah aku sudah menemukan bahagia di hati yang baru? Jawabannya juga tentu TIDAK. Seperti tahu betul kelemahanku, semesta selalu saja menghadirkan bayangmu. Melauli setiap kenangan yang
Semakin aku merasa ini tak adil, semakin perih aku menerimanya. Bagaimana bisa aku tak mampu untuk tidak terus memperjuangkanmu, sementara kamu disana sudah jauh berlalu. Di satu sisi aku enggan dengan ketidak pastianmu, namun disisi lain aku juga tak bisa merelakanmu. Di satu sisi yang sama, aku juga bertanya mengapa bahagiamu bukan aku?
Terkadang, aku pun mentertawai diriku sendiri. Bagaimana bisa bahagia akan kudapati jika untuk membuka hati saja aku tak berani? Ya, tentu disisi lain aku ingin bahagia itu. Namun, disisi lain, tak ada yang pernah tau bahwa telah sejauh apa aku memunguti serpihan itu satu-satu, mengumpulkannya, dan kemudian menyatukannya untuk kuberikan pada hati yang kukira tepat. Lalu setelah sembuh,apakah harus kutemui lagi seorang tokoh antagonis yang dengan mudah menghancurkannya hingga lagi-lagi ada luka dan air mata?
Menjadi seorang penyembuh pun percuma jika aku tidak mampu untuk menyembuhkan hatiku sendiri. Aku tau, tak baik jika aku terus menerus seperti ini. Dengan alasan yang bagaimanapun, aku mengerti bahwa apapun yang memiliki awal pasti juga akan berakhir. Dimana ada pertemuan, tentu juga akan ada perpisahan. Hanya saja itu terserah tangan waktu yang akan mempertemukan.
Bukan salahmu yang mungkin seperti tak mengerti tentang perasaan. Barangkali ini salahku yang terlalu cepat menjatuhkan hati pada waktu yang samasekali tidak tepat. Bukan seorang yang salah, namun memang kali ini aku memang harus mengalah. Kamu berhak atas bahagiamu, di duniamu yang baru tanpa pernah sedikitpun menyertakan aku.
Dari sekian pasang telinga yang kerap mendengar tangisku, mungkin kini sudah bosan untuk memelukku. Apalagi kamu? Mungkin kamu juga telah muak
Janjiku yang nomor satu, untuk berhenti cinta dan menyayangimu, aku mungkin belum bisa. Karena tak semudah itu menghilangkan rasa. Tapi kini, menyembuhkan hati yang luka sedang kucoba-coba. Maaf, bila saat ini yang kubutuhkan masih kamu di saat kamu sama sekali tidak merasakan itu.
Komentar
Posting Komentar